Penjelasan Haram dan Wajibnya Taqlid
“Mengambil suatu pendapat tanpa mengetahui dalil (landasannya)”
artinya, taqlid bukanlah berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka atas dasar ini, para ulama menetapkan bahwa orang yang melakukan taqlid tidak dinamakan orang yang berilmu (‘alim) (Lihat Al Muwafaqat oleh Imam Syatibi (4/293)). Bahkan Ibnu Abdil Barr telah menukil kesepakatan tentang hal ini dalam kitabJami’ Bayan Al Ilmi (2/37 dan 117), Ibnu Qoyim dalam kitab A’laamul Muwaqqi’in (3/293) dan Suyuthi maupun para peneliti yang lain, hingga sebagian mereka secara berlebihan mengatakan “ Tidak ada perbedaan antara taqlid terhadap hewan dengan taqlid terhadap manusia”
Penulis kitab Al Hidayah berkata sehubungan dengan seorang ahli taqlid yang memegang jabatan hakim :
“Adapun taqlid yang dilakukan oleh orang awam menurut kami adalah boleh, berbeda dengan pendapat imam Syafi’i” ( ket: dalam pandangannya ini imam Syafi’i didukung oleh mayoritas ulama seperti Imam Malik dan Imam Ahmad )
Oleh sebab itu, para ulama berkata bahwa orang yang bertaqlid tidak diperkenankan memberikan fatwa.
Dengan mengetahui hal itu, maka jelaslah bagi kita sebab yang mendorong kaum salaf mencela dan mengharamkan taqlid, (lihat kitab Jami’ul Bayan Al Ilmi (2/109-120), karena perbuatan taqlid dapat menyeret seseorang untuk berpaling dari Al kitab dan Sunnah dalam rangka berpegang teguh dan taqlid terhadap pendapat para imam sebagaimana yang sering terjadi dikalangan para ahli taqlid. Bahkan, larangan melakukan taqlid seperti ini telah dinyatakan secara transparan oleh para imam generasi baru dalam madzhab Abu Hanifah. Syaikh Muhammad Al Khudari dalam pembahasannya tentang taqlid dan pelakunya berkata :
“…dan setiap individu tidak memeperkenankan bagi dirinya sendiri untuk mengatakan suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat imamnya, seakan-akan kebenaran itu semuanya turun melalui lidah dan hati sang imam. Hingga para pemuka ulama hanafi serta pembesar mereka yang ternama, yakni Abu hasan Ubaidillah Al Kurkhi, berkata sehubungan persoalan ini,
“semua ayat yang bertentangan dengan pandangan para shahabat kami maka harus di ta’wil atau hukumnya mansukh (dihapus)”
Demikianlah mereka telah menutup pintu kebebasan untuk memilih bagi orang orang dibawah mereka” (lihat Tarikh Tasyri Al islami hal 338)
Kecenderungan yang keliru ini telah menguasai hati kebanyakan para pelaku taqlid terutama pada akhir akhir ini, dimana telah menjadi suatu hal yang lumrah sikap mereka yang menolak hadits hadits-hadits shahih karena bersikukuh dengan madzhab. Jika dikatakan kepada salah seorang dari mereka “ Permasalahan yang anda sebutkan ini menyelisishi sunnah”, maka dengan sigap ia akan mengatakan “ apakah anda lebih tahu tentang Sunnah daripada ulama madzhab ?? Tidak boleh mengamalkan suatu hadits selain seorang mujtahid” itulah jawaban yang mereka berikan, tak ada perbedaan tentang hal ini antara orang awam dengan ulama mereka.
Di saat mereka memberi kepadamu jawaban yang tidak mungkin diucapkan oleh seorang yang mengetahui kedudukan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, mereka tidak tahu atau pura pura tidak tahu bahwa hadits yang tidak diamalkan oleh madzhabnya itu telah diterima oleh madzhab lain atau imam lain yang memiliki kedudukan yang sepadan dengan madzhabnya ataupun imamnya. Maka orang yang mengamalkan hadits itu hakekatnya telah mengamalkan hadits yang dimaksud sekaligus mengikuti madzhab yang menerima hadits itu sementara orang yang menyelisihinya hanyalah mengamalkan apa yang ada dalm madzhab semata.
Jika dikatakan, bahwa ketetapan hukum dalam madzhab pasti memiliki dalil, hanya saja dalil itu tidak kita ketahui. Maka saya (Albani) katakan,
“Jika persoalan seperti yang dikatakan , maka apa dasar yang membolehkan bagi seorang muslim untuk meninggalkan dalil yang telah diketahuinya berupa Hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, lalu memilih mengamalkan dalil yang belum ia ketahui. Seandainya pada akhirnya kita mengetahu dalilnya, tapi hanya berupa qiyas, atau didasarkan pada keumuman nash maupun keuniversalan syariat, tetap saja tidak bisa mengungguli hadits, sebab tidak ada ijtihad bila ada nash, dan bila telah ada atsar (hadits) tidak berlaku lagi semua analogi.”
Taqlid seperti ini, yakni menolak suatu hadits hanya untuk memenangkan madzhab atau yang sepertinya, adalah taqlid yang diharamkan oleh para da’i penyeru Sunnah. Mereka mengajak kaum muslimin untuk membebaskan diri dari hall itu, serta kembali kepada Sunnah dalam kondisi bagaimanapun serta dalam madzhab apapun ditemukan.
Adapun taqlid seorang muslim terhadap orang yang lebih berilmu darinya pada saat tidak ditemukan nash baik dari Allh maupun RasulNya ataupun disaat seseorang tidak mampu memahami keduanya, bukanlah taqlid yang dimaksud disini. Bahkan taqlid seperti ini tidak bisa dibayangkan ada seorang muslimpun yang mengharamkannya. Karena dalam kondisi seperti ini seseorang berada dalam situasi darurat, sementara kondisi darurat menghalalkan perkara yang terlarang, Kalau bukan karena hal itu, maka agama akan menjadi hawa nafsu yang diperturutkan.
Oleh karena itu sebagian ulama menyebutkan :
“Sesungguhnya taqlid itu hanya diperkenankan bagi orang yang berada dalam kondisi darurat. Adapun orang yang sengaja meninggalkan dalil yang bersumber dari al Qur’an, Hadits, serta perkataan para sahabat sementara ia mampu untuk menggali hal hal tersebut dari pada melaukan taqlid, maka ia sama dengan orang yang memakan bangkai pada saat ia masih mampu untuk mendapatkan daging hewan yang disembelih secara syar’i. Sebab kaidah dasar dalam masalah ini adalah pendapat seseorang tidak boleh diterima tanpa dalil kecuali dalam kondisi darurat.”
(lihat kitab I’laamul Muwaqqi’in)